Setamat bangku Sekolah Menengah Pertama, Anom kemudian mendaftar di Sekolah Menengah Ilmu Pariwisata (SMIP) di Seririt. Untuk bisa mendaftar di SMIP Seririt, ia terpaksa menjual sepeda Phoenix kesayangannya. Sepeda itu laku dibeli orang seharga Rp 35.000. Uang hasil penjualan sepeda itu kemudian dibelikan sepatu serta pakaian sekolah untuk masuk SMIP. Untuk bisa bersekolah di SMIP ini, Anom kembali harus rela jalan kaki sejauh 3,5 killometer setiap harinya dari rumah sampai sekolah. Mengenyam pendidikan di bangku SMIP ini hanya sempat dirasakan Anom selama kurun waktu 4 bulan. “Memasuki bulan ke-4, saya dipanggil ajik (bapak). Waktu itu ajik bilang bahwa beliau sudah tua, sudah tidak bisa bekerja seperti dulu lagi. Ajik bilang saya harus bantu di sawah jika ingin tetap bisa sekolah. Ajik juga bilang tidak bisa lagi bantu biayai saya sekolah. Kakak-kakak saya yang meski sudah berstatus PNS, juga tidak bisa bantu karena kondisinya masih pas-pasan,” jelas Anom. Usai dipanggil ayahnya, saat itu Anom langsung memutuskan untuk berhenti sekolah di SMIP. Keputusan untuk berhenti sekolah ini tidak diketahui oleh kedua orang tuanya. “Perasaan saya waktu itu campur aduk, di satu sisi ingin melanjutkan sekolah di SMIP, di satu sisi keadaan orang tua tidak memungkinkan.”